Neurodiversity

Neurodiversity

Bayangkan bila saat ini kita sedang berada di sebuah taman yang dipenuhi oleh beragam jenis bunga. Ada bunga mawar dengan kelopak merahnya yang menawan. Ada si kuning mempesona, Alamanda. Tak lupa Melati dengan warna putihnya yang bersahaja. Mereka hanya sebagian saja yang kusebut di antara sekian banyak jenis dan warna bunga lainnya.

Tapi hei, tunggu, pernahkah kamu menemukan ada bunga dengan kelopak berwarna hitam? Meski rasanya jarang ditemukan, tapi keberadaan mereka nyata adanya lho! Coba perhatikan gambar-gambar di bawah ini :

Apa yang kamu pikirkan setelah melihatnya? Adakah sekelebat pikiran muncul di kepalamu, bahwa bunga berkelopak hitam adalah suatu ketidaknormalan? Ataukah, mereka terlihat sama indahnya, sama memesonanya dan sama menawannya dengan bunga lainnya? Seharusnya, kita semua akan sepakat, apapun warna kelopak bunga hanyalah bentuk dari keanekaragaman. Si bunga berkelopak hitam bukanlah bunga cacat yang abnormal, yang butuh untuk diperbaiki. Betul?

Yes! Sebuah analogi yang tepat menggambarkan tentang Neurodiversity atau keragaman syaraf pada otak. Otak manusia terdiri dari milyaran sel syaraf yang saling terkoneksi dengan aturan tertentu. Secara statistik, memang ada penggolongan manusia berdasarkan level kecerdasan atau kepribadian tertentu. Sayangnya, penggolongan ini kemudian salah kaprah dengan menganggap level tertentu normal, sedangkan sisanya adalah abnormal. Sebenarnya, yang lebih tepat adalah dibutuhkan cara yang berbeda-beda untuk menangani anak-anak atau manusia pada umumnya, sesuai dengan anugrah sistem kerja otak yang telah Tuhan berikan.

ADHD (Attention Deficit Hiperactive Disorder) atau istilah dalam Bahasa Indonesia disebut juga GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif) adalah satu dari sekian jenis neurodiversity. Istilah ini sebenarnya telah aku ketahui sejak lama, bahkan jauh sebelum aku memiliki seorang putra. Dulu, ketika masih menjadi seorang guru sekolah dasar, aku sempat diminta menjadi guru les seorang murid yang menurut orangtuanya punya masalah ADHD.

Mulanya aku masih bingung, sebenarnya seperti apa wujud dari ADHD itu sendiri. Kala itu, ada 2 istilah yang saling berkaitan : ADD dan ADHD. Pembedanya hanya pada huruf H (Hiperaktif). Sampai kemudian, di tahun 2020 ketika dunia diterpa badai pandemi virus Corona, Allah memberiku kesempatan untuk belajar lebih dalam tentang hal ini melalui anakku.

Bila bagi sebagian orang, datangnya Corona berkaitan erat dengan masalah finansial atau kesehatan secara fisik, namun sedikit berbeda bagiku. Salah satu dampak dari virus Corona adalah seluruh pembelajaran sekolah dipaksa untuk dilakukan secara jarak jauh atau online. Tak terkecuali anakku yang kala itu masih berada di semester 2 tingkat TK A di sebuah sekolah alam. Bila mulanya tugasku sehari-hari sekadar mengantarkan dan menjemputnya pulang dari sekolah, kini aku dipaksa untuk mengubah peran untuk menjadi guru sekolah bagi anakku.

Semenjak memfokuskan diri menemani anakku belajar di rumah, aku jadi lebih sensitif terhadap perkembangannya. Beruntung ketika kuliah dulu aku sempat sedikit belajar seputar psikologi dan perkembangan anak, aku jadi menyadari ada sesuatu yang agak berbeda dari anakku. Sekilas mungkin tidak tampak, tapi hati kecilku sebagai ibunya mengusik untuk mencari tahu lebih lanjut, apakah kecurigaanku ini benar atau tidak.

Aku pun menjadi lebih intens belajar dan mencari tahu segala hal terutama yang berkaitan dengan tumbuh kembang, stimulasi sensori, motori, gangguan-gangguan belajar yang mungkin timbul, dst. Salah satu hikmah dari pandemi adalah semakin banyak tersebar sumber belajar yang bisa aku akses meski hanya dari rumah saja. Beruntungnya, sebagian besar bisa aku ikuti tanpa perlu mengeluarkan biaya.

Memasuki tahun ajaran baru, aku putuskan untuk memberhentikan anakku dari sekolah sebelumnya dan beralih menggunakan metode homechooling. Meski demikian, aku tetap berada di bawah naungan lembaga eksternal agar masih tetap punya panduan dan acuan dalam mengajar. Di tahun ajaran baru inilah keinginan untuk melakukan cek dan ricek tentang tumbuh kembang anakku ke psikolog anak menjadi semakin kuat. Aku sadar sepenuhnya, melakukan self diagnose adalah tindakan yang kurang bijak, maka aku butuh bantuan ahli untuk memberikan penilaian.

Selain membawa ke psikolog anak, aku pun sempat melakukan cross check pada dokter rehab medik untuk lebih menastikan hasilnya. Kini, hasil penilaian dari masing-masing ahli telah ada di tangan, namun ini bukanlah akhir, melainkan awal dari episode baru dalam kehidupanku. Salah satu hal yang membuatku akhirnya memutuskan untuk melepaskan sejenak beban amanah dan tanggung jawabku di luar urusan anak. Lagi-lagi, inilah hikmah lain dari pandemi yang aku rasakan, bukan tentang persoalan ekonomi, bukan tentang kesehatan secara fisik. Allah hendak mengarahkanku untuk mencurahkan perhatian pada apa yang seharusnya paling utama prioritaskan. Jawabannya aku temukan melalui anakku.

Terima kasih Ya Allah untuk segala pembelajaran yang membuka mata. Semoga seterjal apapun jalan yang akan aku temukan ke depannya, Engkau senantiasa memberikanku kesabaran, ketenangan dan kemampuan untuk bertahan. Mohon jadikanlah setiap daya dan upaya yang aku lakukan ini kelak menjadi penolongku untuk dapat mengetuk pintu Syurga-Mu…