Kehilangan

Kehilangan

Kenapa begitu?” pertanyaan itu mengalir dari bibir Ninda untuk kesekian kalinya. “Iya, kenapa kamu harus terus bersikap begini?”

Diberi pertanyaan begitu, mendadak otakku jadi beku. Bagaimana aku harus menjawabnya kalau aku saja tidak tahu. Apakah semua hal yang ingin aku lakukan harus dipertanyakan alasannya? Entahlah, rasa malas mendapatkan tatapan penuh tanda tanya dari orang lain membuatku ingin mengurung diri saja di kamar seharian ini. Mereka yang belum pernah merasakan kehilangan seseorang yang dicintai secara tiba-tiba mungkin tidak akan pernah memahami situasiku.

Lebih dari sebelas tahun total waktu semenjak kali pertama aku mengenal Mas Bangun, dan tujuh tahun di antaranya telah kami resmikan ke dalam lembaga pernikahan. Meski begitu hingga hari terakhir kepergian Mas Bangun, kami memang masih berdua saja, tanpa adanya generasi penerus hasil buah cinta kami.

Tak bisakah mereka berempati sedikit padaku yang masih merasakan kehilangan separuh jiwaku? Kepergian Mas Bangun memang sudah tiga tahun yang lalu, tapi buatku rasanya seperti baru kemarin. Apa sih salahnya kalau aku ingin sendiri saja, mungkin sampai tiba waktunya aku menyusul Mas Bangun? Apakah tolak ukur sukses seorang wanita hanya apabila berhasil menumbuhkan dan melahirkan janin dari rahimnya sendiri? Kenapa memangnya kalau aku tak lagi punya minat dan hasrat untuk menikah apalagi punya anak dari orang selain Mas Bangun?

Mereka kira, kalau aku mau membuka diriku untuk orang baru, lukaku atas kehilangan Mas Bangun bisa tertutup lebih cepat. Ah, tapi itu kan pikir mereka, bukan mauku! Aku bahkan tidak yakin saran itu mereka lontarkan benar-benar untuk kebaikanku. Jangan-jangan mereka lebih peduli dengan pandangan sosial terhadap keluarga besarku, tentang nasibku, seorang perempuan yang masih muda namun kelak akan mati dalam keadaan sebatang kara tanpa keturunan bahkan tanpa pendamping.

Aku tidak tahu mengapa Tuhan memilih aku untuk mendapatkan jenis cobaan semacam ini. Ketiadaan Mas Bangun membuatku kehilangan arah dan tujuan hidup. Dahulu, seluruh hidup telah aku nisbatkan hanya untuk Mas Bangun. Tujuanku satu-satunya adalah menjadi seorang istri yang menyenangkan hatinya, diridhoi olehnya, dan kelak bertemu kembali bersama di surgaNya. Tapi kenapa malah Mas Bangun yang lebih dulu pergi?? Mengapa aku tidak diajak serta, bukan malahan ditinggalkan sendirian di dunia seperti sekarang ini?? Oh, Tuhan, bolehkah aku mengutuk takdir yang Engkau gariskan untuk kami?

***

“Jadi, nama kamu Fathur? Salam kenal, aku Rina.”

Senyuman terukir di bibir Ninda yang mengamatiku dari kejauhan. Aku yakin, ini kali pertama ia merasakan kelegaan setelah sekian lama mencoba meyakinkan adik semata wayangnya ini untuk membuka hati untuk orang lain. Entah berapa kali penolakan yang aku berikan tiap kali ia menyodorkan kenalannya. Selamat Ninda, kali ini kamu berhasil meyakinkanku untuk melangkah pergi, meninggalkan rasa takut kehilangan seperti dahulu lagi. Doakan adikmu bisa benar-benar melepaskan ikatan dari kenangan bersama Mas Bangun.

Leave a comment