9 tahun 3 bulan usiaku ketika itu. Hanya selama waktu itulah aku pernah memiliki seorang ayah sebelum kemudian sebutan ‘anak yatim’ lekat menjadi salah satu predikatku. Mengingat hanya sebentar saja waktu yang pernah aku miliki bersama Papa, maka hanya tersisa sedikit saja kenangan yang berhasil kuingat di sela-sela ribuan memori masa kecilku. Tak banyak yang bisa diharapkan dari anak usia segitu mengingat detil suatu kejadian kan?
Namun ada sebuah kenangan yang masih terekam jelas dalam ingatanku. Bukan sekedar ingatan tentang waktu dan latar tempat kejadian, namun termasuk di dalamnya bagaimana rasa dan emosi yang terbit di dalam hatiku kala itu. Inilah inti kisah yang ingin aku rekam jejaknya lewat tulisan ini. Kisah sebuah Juz Amma bersampul kuning.
Apakah yang menjadikannya istimewa? Jawabannya karena keberadaannya yang menjadi penghubung antara aku dan Papa, melalui kenangan di masa lampau. Kenangan paling kuat yang membuatku merasakan pernah memiliki seorang ayah.
Kala itu aku adalah seorang siswi yang baru saja pindah sekolah. Jika siswa lain terdaftar sedari tahun pertama, maka aku baru resmi menjadi salah satu murid di sebuah sekolah dasar islam terpadu tersebut setahun setelahnya. Bukan karena aku pindah rumah, bukan karena papa ditugaskerjakan di lain kota, tapi karena sebuah tujuan yang sungguh mulia. Sebuah tujuan yang sungguh aku syukuri hingga kini dan aku harapkan menjadikannya salah satu amalan yang tak putus pahalanya bagi Papa.
Kelas 1 SD aku berpindah sekolah 2 kali, keduanya sama-sama di SD Negeri. Memasuki tahun ajaran baru, ternyata aku sudah berganti seragam. Kali ini seragamku jauh berbeda dari sebelumnya. Ada tambahan kerudung yang menutupi kepala, serta bagian lengan baju yang lebih panjang juga rok yang terulur hingga mata kaki. Begitulah, status siswa SD negeri berubah jadi siswa SDIT, Sekolah Dasar Islam Terpadu.
Bukan cuma seragam, aku pun mendapati nama-nama mata pelajaran baru yang belum pernah kudapati sebelumnya. Quran Hadist, Sejarah Kebudayaan Islam, Akidah Akhlak, Fiqh, Tahfiz, Tilawah, Bahasa Arab adalah beberapa nama mata pelajaran baru itu.
Sebagai murid pindahan, kondisi memaksaku untuk beradaptasi mengikuti alur kelas yang sudah ada. Termasuk dalam hal ini ketika pelajaran Tahfiz, pelajaran yang inti utama kegiatannya adalah menghafal ayat-ayat Al-Quran. Prosesnya dimulai dari Juz 30 atau biasa disebut Juz Amma, dari surat paling akhir yaitu An-Naas lalu mundur ke belakang. Oleh karena aku baru datang belakangan, aku langsung bergabung bersama teman sekelas yang hafalannya sudah sampai surat Al-Fajr.
Jangan tanyakan bagaimana nasib hafalanku dari surat An-Naas hingga Al-Balad (satu surat sebelum Al-Fajr), karena sejujurnya hingga kemudian aku dewasa, aku masih tertatih menghafalkannya. Sistem hafalan di kelas kala itu yang dilakukan secara bersama-sama membuatku tak sempat (atau tidak menyempatkan) diri untuk mengejar ketinggalan hafalan pada surat-surat sebelumnya.
Jangan tanyakan pula bagaimana pembelajaranku di rumah. Aku sadar di kemudian hari, alasan Papa dan Mamaku bersikeras memindahkanku ke sekolah islam adalah sebagai salah satu cara mereka agar aku tetap mendapatkan pendidikan agama yang cukup sementara mereka menjadi guru dan dosen mendidik anak-anak lain dan tak sempat mengajariku secara pribadi di rumah. Tak perlu menghakimi bagaimana parenting Papa dan Mamaku dahulu. Mungkin, dengan memberikanku lingkungan belajar yang baik adalah cara terbaik yang mereka pilihkan untukku.
Kembali lagi pada sebuah Juz Amma saku bersampul kuning. Ini adalah Juz Amma pertamaku. Papa yang membelikannya untukku. Sungguh aku masih mengingat bagaimana momen ketika Papa datang mengantarkan Juz Amma itu ke sekolah ketika aku sedang belajar di kelas. Papa datang menghampiriku di sela-sela jam kerjanya. Rasanya saat itu aku senang sekali ketika akhirnya punya Juz Amma sendiri, tak lagi meminjam punya sekolah.
Aku memang belum pernah punya Juz Amma sebelumnya. Aku bahkan tak ingat bagaimana mulanya aku belajar membaca AlQuran. Apakah aku belajar di rumah, ataukah aku baru mempelajarinya saat aku sekolah? Aku sungguh tak ingat. Aku cuma ingat Juz Amma kuning itulah milikku yang pertama.
Benda mungil itulah yang mengantarkanku belajar menghafalkan ayat-ayat dalam Al-Quran. Ayat-ayat yang hingga kemudian aku dewasa sesungguhnya sudah banyak yang terlupakan, tapi masih ada rasa yang terikat ketika mendengar lantunan ayat dari surat-surat terutama dari Juz 29-30.
Aku memang punya sedikit masalah dalam hal mengingat sesuatu. Entah apakah ada hubungannya dengan insiden ketika kecil dulu aku pernah mengalami gegar otak ringan akibat terbentur tembok saat bermain. Jadi menghafal sesuatu bagiku adalah sebuah proses yang kompleks.
Meskipun mungkin hafalan Quranku memang tidaklah banyak, bahkan dari yang sedikit itu sudah banyak yang hilang dan jadi sesuatu yang sering aku sesali, tapi di balik itu semua, aku bersyukur Papa adalah orang yang punya andil dalam proses belajarku. Aku berharap, secuil memori yang masih berhasil kukenang ini kelak menjadi pemberat amalan kebaikan beliau. Berawal dari sanalah aku belajar membaca dan menghafalkan firman-firman Allah.
Bagaimana kabarmu Pa di sana? Aku hanya bisa mendoakan semoga Allah limpahkan kasih sayangNya padamu, Ia jaga dirimu dari siksa kubur, Ia lapangkan tempatmu beristirahat sementara ini, dan kelak Ia pertemukan kembali kita semua di SurgaNya yang kekal.