Kisruh Whatsapp

Kisruh Whatsapp

Selain berita tentang Virus Corona, tahun 2021 ini dihiasi pula oleh topik hangat seputar aplikasi perpesanan Whatsapp. Aplikasi yang saya yakin nyaris tidak ada yang tidak memilikinya di masa sekarang ini. Aplikasi yang bahkan mampu menggeser kedudukan SMS di lini kehidupan manusia.

Whatsapp membuat kebijakan baru untuk seluruh pengguna yang masih ingin menggunakan aplikasi ini. Kebijakan yang mengusik sebagian besar orang di dunia, tentang privasi data. Sebenarnya, dibandingkan yang terusik, lebih banyak lagi yang tidak mengerti dan tak terlalu peduli. Whatsapp meminta persetujuan seluruh penggunanya agar bersedia memberikan izin seluruh data yang ada pada percakapan baik personal, grup, hingga kontak yang terhubung untuk dipergunakan oleh pihak ketiga, dalam hal ini Facebook.

Sesuatu yang menjadikannya menarik bagi saya adalah ketika mencuat suatu nama aplikasi perpesanan baru yang disebut-sebut lebih baik dan bisa menjadi alternatif dari Whatsapp. Signal namanya. Aplikasi yang menjadi booming mana kala Elon Musk memberikan rekomendasi tersebut. Konon katanya aplikasi ini dibuat oleh mantan pendiri Whatsapp yang keluar akibat selisih paham dengan pemilik Whatsapp saat ini (Mark Zuckerberg),

Bagaimana dengan saya? Pada akhirnya saya pun memutuskan untuk ikut mengunduh Signal. Saya cukup penasaran ketika awalnya sedikit abai. Mulanya saya kira ini hanyalah sebuah trik marketing belaka yang dimanfaatkan oleh Signal untuk mendapatkan tambahan pengguna. Namun, ketika rekomendasi itu datang dari tokoh yang cukup dapat dipercaya, maka saya pun mempertimbangkan untuk ikut mencoba.

Dari segi bisnis, saya percaya bahwa ‘tidak ada makan siang yang gratis’. Apa yang Whatsapp lakukan kepada para penggunanya adalah haknya. Bahkan ketika akhirnya pemiliknya ingin memonetisasi aplikasi ini, sebenarnya sah saja. Fitur yang cukup lengkap pada Whatsapp tentu butuh pengembangan lebih lanjut, dan setiap pengembangan membutuhkan biaya. Jika pada beberapa aplikasi mereka menyisipkan iklan, Whatsapp tidak demikian. Menurut saya, hal inilah yang membuat para pendiri Whatsapp menggunakan jalur lain agar tetap dapat menghasilkan uang.

Bagaimana dengan Signal? Saya baru saja selesai mengunduh aplikasi ini. Next time, saya akan coba review bagaimana kesan saya setelah menggunakannya, termasuk apakah saya akan berpindah ataukah tetap menggunakan Whatsapp. See you on the next review!

Juz ‘Amma

Juz ‘Amma

9 tahun 3 bulan usiaku ketika itu. Hanya selama waktu itulah aku pernah memiliki seorang ayah sebelum kemudian sebutan ‘anak yatim’ lekat menjadi salah satu predikatku. Mengingat hanya sebentar saja waktu yang pernah aku miliki bersama Papa, maka hanya tersisa sedikit saja kenangan yang berhasil kuingat di sela-sela ribuan memori masa kecilku. Tak banyak yang bisa diharapkan dari anak usia segitu mengingat detil suatu kejadian kan?

Namun ada sebuah kenangan yang masih terekam jelas dalam ingatanku. Bukan sekedar ingatan tentang waktu dan latar tempat kejadian, namun termasuk di dalamnya bagaimana rasa dan emosi yang terbit di dalam hatiku kala itu. Inilah inti kisah yang ingin aku rekam jejaknya lewat tulisan ini. Kisah sebuah Juz Amma bersampul kuning.

Apakah yang menjadikannya istimewa? Jawabannya karena keberadaannya yang menjadi penghubung antara aku dan Papa, melalui kenangan di masa lampau. Kenangan paling kuat yang membuatku merasakan pernah memiliki seorang ayah.

Kala itu aku adalah seorang siswi yang baru saja pindah sekolah. Jika siswa lain terdaftar sedari tahun pertama, maka aku baru resmi menjadi salah satu murid di sebuah sekolah dasar islam terpadu tersebut setahun setelahnya. Bukan karena aku pindah rumah, bukan karena papa ditugaskerjakan di lain kota, tapi karena sebuah tujuan yang sungguh mulia. Sebuah tujuan yang sungguh aku syukuri hingga kini dan aku harapkan menjadikannya salah satu amalan yang tak putus pahalanya bagi Papa.

Kelas 1 SD aku berpindah sekolah 2 kali, keduanya sama-sama di SD Negeri. Memasuki tahun ajaran baru, ternyata aku sudah berganti seragam. Kali ini seragamku jauh berbeda dari sebelumnya. Ada tambahan kerudung yang menutupi kepala, serta bagian lengan baju yang lebih panjang juga rok yang terulur hingga mata kaki. Begitulah, status siswa SD negeri berubah jadi siswa SDIT, Sekolah Dasar Islam Terpadu.

Bukan cuma seragam, aku pun mendapati nama-nama mata pelajaran baru yang belum pernah kudapati sebelumnya. Quran Hadist, Sejarah Kebudayaan Islam, Akidah Akhlak, Fiqh, Tahfiz, Tilawah, Bahasa Arab adalah beberapa nama mata pelajaran baru itu.

Sebagai murid pindahan, kondisi memaksaku untuk beradaptasi mengikuti alur kelas yang sudah ada. Termasuk dalam hal ini ketika pelajaran Tahfiz, pelajaran yang inti utama kegiatannya adalah menghafal ayat-ayat Al-Quran. Prosesnya dimulai dari Juz 30 atau biasa disebut Juz Amma, dari surat paling akhir yaitu An-Naas lalu mundur ke belakang. Oleh karena aku baru datang belakangan, aku langsung bergabung bersama teman sekelas yang hafalannya sudah sampai surat Al-Fajr.

Jangan tanyakan bagaimana nasib hafalanku dari surat An-Naas hingga Al-Balad (satu surat sebelum Al-Fajr), karena sejujurnya hingga kemudian aku dewasa, aku masih tertatih menghafalkannya. Sistem hafalan di kelas kala itu yang dilakukan secara bersama-sama membuatku tak sempat (atau tidak menyempatkan) diri untuk mengejar ketinggalan hafalan pada surat-surat sebelumnya.

Jangan tanyakan pula bagaimana pembelajaranku di rumah. Aku sadar di kemudian hari, alasan Papa dan Mamaku bersikeras memindahkanku ke sekolah islam adalah sebagai salah satu cara mereka agar aku tetap mendapatkan pendidikan agama yang cukup sementara mereka menjadi guru dan dosen mendidik anak-anak lain dan tak sempat mengajariku secara pribadi di rumah. Tak perlu menghakimi bagaimana parenting Papa dan Mamaku dahulu. Mungkin, dengan memberikanku lingkungan belajar yang baik adalah cara terbaik yang mereka pilihkan untukku.

Kembali lagi pada sebuah Juz Amma saku bersampul kuning. Ini adalah Juz Amma pertamaku. Papa yang membelikannya untukku. Sungguh aku masih mengingat bagaimana momen ketika Papa datang mengantarkan Juz Amma itu ke sekolah ketika aku sedang belajar di kelas. Papa datang menghampiriku di sela-sela jam kerjanya. Rasanya saat itu aku senang sekali ketika akhirnya punya Juz Amma sendiri, tak lagi meminjam punya sekolah.

Aku memang belum pernah punya Juz Amma sebelumnya. Aku bahkan tak ingat bagaimana mulanya aku belajar membaca AlQuran. Apakah aku belajar di rumah, ataukah aku baru mempelajarinya saat aku sekolah? Aku sungguh tak ingat. Aku cuma ingat Juz Amma kuning itulah milikku yang pertama.

Benda mungil itulah yang mengantarkanku belajar menghafalkan ayat-ayat dalam Al-Quran. Ayat-ayat yang hingga kemudian aku dewasa sesungguhnya sudah banyak yang terlupakan, tapi masih ada rasa yang terikat ketika mendengar lantunan ayat dari surat-surat terutama dari Juz 29-30.

Aku memang punya sedikit masalah dalam hal mengingat sesuatu. Entah apakah ada hubungannya dengan insiden ketika kecil dulu aku pernah mengalami gegar otak ringan akibat terbentur tembok saat bermain. Jadi menghafal sesuatu bagiku adalah sebuah proses yang kompleks.

Meskipun mungkin hafalan Quranku memang tidaklah banyak, bahkan dari yang sedikit itu sudah banyak yang hilang dan jadi sesuatu yang sering aku sesali, tapi di balik itu semua, aku bersyukur Papa adalah orang yang punya andil dalam proses belajarku. Aku berharap, secuil memori yang masih berhasil kukenang ini kelak menjadi pemberat amalan kebaikan beliau. Berawal dari sanalah aku belajar membaca dan menghafalkan firman-firman Allah.

Bagaimana kabarmu Pa di sana? Aku hanya bisa mendoakan semoga Allah limpahkan kasih sayangNya padamu, Ia jaga dirimu dari siksa kubur, Ia lapangkan tempatmu beristirahat sementara ini, dan kelak Ia pertemukan kembali kita semua di SurgaNya yang kekal.

Muak

Muak

Jikalau boleh kuberkata jujur, diriku terlampau bosan mendengar segala cerita yang berkaitan dengan Corona. Bahkan termasuk ketika aku diharuskan menuliskan cerita yang berkaitan dengannya. Ya seperti sekarang ini.

Setahun terakhir kata itu lalu lalang hilir mudik memenuhi seluruh inderaku, mendengarnya saat menonton berita di TV, melihatnya saat membaca artikel di sosial media, merasakan sensasi kebingungan manakala orang terdekat dikabarkan terkonfirmasi positif terjangkit virus ini. Muak, kalau boleh jujur begitulah responku terhadap satu kata ini.

Aku tidak berada dalam barisan orang-orang yang percaya bahwa virus ini hanyalah bohong belaka. Aku percaya keberadaannya nyata. Aku pun tidak dalam situasi menyangkal betapa berbahayanya virus ini. Namun entah mengapa aku meyakini kemunculannya tak lebih dari sekadar strategi entah siapa yang hanya ingin mengeruk keuntungan untuk dirinya pribadi.

Aku muak manakala di awal-awal berita tentangnya tersebar masif, orang-orang tamak muncul naik ke permukaan. Mereka-mereka yang hanya peduli bagaimana caranya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dalam situasi genting dan sulit. Satu hal yang paling kuingat adalah ketika harga masker medis, hand sanitizer, cairan disinfektan dan segala printilan yang berkaitan dengan virus ini mendadak melambung naik tinggi. Aku takkan mempermasalahkan andaikan kenaikan ini terjadi karena terbatasnya suplai untuk memenuhi permintaan. Sayangnya, situasi tersebut terjadi karena sifat rakusnya manusia, mereka yang punya modal lebih sengaja melakukan penimbunan hingga terjadi kelangkaan di mana-mana.

Aku tak menampik di tengah segala hal negatif, masih banyak terselip berita dan cerita positif tentang situasi pandemi ini. Namun dari sini aku belajar, hanya karena makhluk super mini yang Tuhan kirimkan, manusia bisa begitu sangat lupa diri. Entah bagaimana ujian di akhir zaman nanti, ketika semua orang tak lagi peduli satu sama lainnya.

Neurodiversity

Neurodiversity

Bayangkan bila saat ini kita sedang berada di sebuah taman yang dipenuhi oleh beragam jenis bunga. Ada bunga mawar dengan kelopak merahnya yang menawan. Ada si kuning mempesona, Alamanda. Tak lupa Melati dengan warna putihnya yang bersahaja. Mereka hanya sebagian saja yang kusebut di antara sekian banyak jenis dan warna bunga lainnya.

Tapi hei, tunggu, pernahkah kamu menemukan ada bunga dengan kelopak berwarna hitam? Meski rasanya jarang ditemukan, tapi keberadaan mereka nyata adanya lho! Coba perhatikan gambar-gambar di bawah ini :

Apa yang kamu pikirkan setelah melihatnya? Adakah sekelebat pikiran muncul di kepalamu, bahwa bunga berkelopak hitam adalah suatu ketidaknormalan? Ataukah, mereka terlihat sama indahnya, sama memesonanya dan sama menawannya dengan bunga lainnya? Seharusnya, kita semua akan sepakat, apapun warna kelopak bunga hanyalah bentuk dari keanekaragaman. Si bunga berkelopak hitam bukanlah bunga cacat yang abnormal, yang butuh untuk diperbaiki. Betul?

Yes! Sebuah analogi yang tepat menggambarkan tentang Neurodiversity atau keragaman syaraf pada otak. Otak manusia terdiri dari milyaran sel syaraf yang saling terkoneksi dengan aturan tertentu. Secara statistik, memang ada penggolongan manusia berdasarkan level kecerdasan atau kepribadian tertentu. Sayangnya, penggolongan ini kemudian salah kaprah dengan menganggap level tertentu normal, sedangkan sisanya adalah abnormal. Sebenarnya, yang lebih tepat adalah dibutuhkan cara yang berbeda-beda untuk menangani anak-anak atau manusia pada umumnya, sesuai dengan anugrah sistem kerja otak yang telah Tuhan berikan.

ADHD (Attention Deficit Hiperactive Disorder) atau istilah dalam Bahasa Indonesia disebut juga GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif) adalah satu dari sekian jenis neurodiversity. Istilah ini sebenarnya telah aku ketahui sejak lama, bahkan jauh sebelum aku memiliki seorang putra. Dulu, ketika masih menjadi seorang guru sekolah dasar, aku sempat diminta menjadi guru les seorang murid yang menurut orangtuanya punya masalah ADHD.

Mulanya aku masih bingung, sebenarnya seperti apa wujud dari ADHD itu sendiri. Kala itu, ada 2 istilah yang saling berkaitan : ADD dan ADHD. Pembedanya hanya pada huruf H (Hiperaktif). Sampai kemudian, di tahun 2020 ketika dunia diterpa badai pandemi virus Corona, Allah memberiku kesempatan untuk belajar lebih dalam tentang hal ini melalui anakku.

Bila bagi sebagian orang, datangnya Corona berkaitan erat dengan masalah finansial atau kesehatan secara fisik, namun sedikit berbeda bagiku. Salah satu dampak dari virus Corona adalah seluruh pembelajaran sekolah dipaksa untuk dilakukan secara jarak jauh atau online. Tak terkecuali anakku yang kala itu masih berada di semester 2 tingkat TK A di sebuah sekolah alam. Bila mulanya tugasku sehari-hari sekadar mengantarkan dan menjemputnya pulang dari sekolah, kini aku dipaksa untuk mengubah peran untuk menjadi guru sekolah bagi anakku.

Semenjak memfokuskan diri menemani anakku belajar di rumah, aku jadi lebih sensitif terhadap perkembangannya. Beruntung ketika kuliah dulu aku sempat sedikit belajar seputar psikologi dan perkembangan anak, aku jadi menyadari ada sesuatu yang agak berbeda dari anakku. Sekilas mungkin tidak tampak, tapi hati kecilku sebagai ibunya mengusik untuk mencari tahu lebih lanjut, apakah kecurigaanku ini benar atau tidak.

Aku pun menjadi lebih intens belajar dan mencari tahu segala hal terutama yang berkaitan dengan tumbuh kembang, stimulasi sensori, motori, gangguan-gangguan belajar yang mungkin timbul, dst. Salah satu hikmah dari pandemi adalah semakin banyak tersebar sumber belajar yang bisa aku akses meski hanya dari rumah saja. Beruntungnya, sebagian besar bisa aku ikuti tanpa perlu mengeluarkan biaya.

Memasuki tahun ajaran baru, aku putuskan untuk memberhentikan anakku dari sekolah sebelumnya dan beralih menggunakan metode homechooling. Meski demikian, aku tetap berada di bawah naungan lembaga eksternal agar masih tetap punya panduan dan acuan dalam mengajar. Di tahun ajaran baru inilah keinginan untuk melakukan cek dan ricek tentang tumbuh kembang anakku ke psikolog anak menjadi semakin kuat. Aku sadar sepenuhnya, melakukan self diagnose adalah tindakan yang kurang bijak, maka aku butuh bantuan ahli untuk memberikan penilaian.

Selain membawa ke psikolog anak, aku pun sempat melakukan cross check pada dokter rehab medik untuk lebih menastikan hasilnya. Kini, hasil penilaian dari masing-masing ahli telah ada di tangan, namun ini bukanlah akhir, melainkan awal dari episode baru dalam kehidupanku. Salah satu hal yang membuatku akhirnya memutuskan untuk melepaskan sejenak beban amanah dan tanggung jawabku di luar urusan anak. Lagi-lagi, inilah hikmah lain dari pandemi yang aku rasakan, bukan tentang persoalan ekonomi, bukan tentang kesehatan secara fisik. Allah hendak mengarahkanku untuk mencurahkan perhatian pada apa yang seharusnya paling utama prioritaskan. Jawabannya aku temukan melalui anakku.

Terima kasih Ya Allah untuk segala pembelajaran yang membuka mata. Semoga seterjal apapun jalan yang akan aku temukan ke depannya, Engkau senantiasa memberikanku kesabaran, ketenangan dan kemampuan untuk bertahan. Mohon jadikanlah setiap daya dan upaya yang aku lakukan ini kelak menjadi penolongku untuk dapat mengetuk pintu Syurga-Mu…

Kehilangan

Kehilangan

Kenapa begitu?” pertanyaan itu mengalir dari bibir Ninda untuk kesekian kalinya. “Iya, kenapa kamu harus terus bersikap begini?”

Diberi pertanyaan begitu, mendadak otakku jadi beku. Bagaimana aku harus menjawabnya kalau aku saja tidak tahu. Apakah semua hal yang ingin aku lakukan harus dipertanyakan alasannya? Entahlah, rasa malas mendapatkan tatapan penuh tanda tanya dari orang lain membuatku ingin mengurung diri saja di kamar seharian ini. Mereka yang belum pernah merasakan kehilangan seseorang yang dicintai secara tiba-tiba mungkin tidak akan pernah memahami situasiku.

Lebih dari sebelas tahun total waktu semenjak kali pertama aku mengenal Mas Bangun, dan tujuh tahun di antaranya telah kami resmikan ke dalam lembaga pernikahan. Meski begitu hingga hari terakhir kepergian Mas Bangun, kami memang masih berdua saja, tanpa adanya generasi penerus hasil buah cinta kami.

Tak bisakah mereka berempati sedikit padaku yang masih merasakan kehilangan separuh jiwaku? Kepergian Mas Bangun memang sudah tiga tahun yang lalu, tapi buatku rasanya seperti baru kemarin. Apa sih salahnya kalau aku ingin sendiri saja, mungkin sampai tiba waktunya aku menyusul Mas Bangun? Apakah tolak ukur sukses seorang wanita hanya apabila berhasil menumbuhkan dan melahirkan janin dari rahimnya sendiri? Kenapa memangnya kalau aku tak lagi punya minat dan hasrat untuk menikah apalagi punya anak dari orang selain Mas Bangun?

Mereka kira, kalau aku mau membuka diriku untuk orang baru, lukaku atas kehilangan Mas Bangun bisa tertutup lebih cepat. Ah, tapi itu kan pikir mereka, bukan mauku! Aku bahkan tidak yakin saran itu mereka lontarkan benar-benar untuk kebaikanku. Jangan-jangan mereka lebih peduli dengan pandangan sosial terhadap keluarga besarku, tentang nasibku, seorang perempuan yang masih muda namun kelak akan mati dalam keadaan sebatang kara tanpa keturunan bahkan tanpa pendamping.

Aku tidak tahu mengapa Tuhan memilih aku untuk mendapatkan jenis cobaan semacam ini. Ketiadaan Mas Bangun membuatku kehilangan arah dan tujuan hidup. Dahulu, seluruh hidup telah aku nisbatkan hanya untuk Mas Bangun. Tujuanku satu-satunya adalah menjadi seorang istri yang menyenangkan hatinya, diridhoi olehnya, dan kelak bertemu kembali bersama di surgaNya. Tapi kenapa malah Mas Bangun yang lebih dulu pergi?? Mengapa aku tidak diajak serta, bukan malahan ditinggalkan sendirian di dunia seperti sekarang ini?? Oh, Tuhan, bolehkah aku mengutuk takdir yang Engkau gariskan untuk kami?

***

“Jadi, nama kamu Fathur? Salam kenal, aku Rina.”

Senyuman terukir di bibir Ninda yang mengamatiku dari kejauhan. Aku yakin, ini kali pertama ia merasakan kelegaan setelah sekian lama mencoba meyakinkan adik semata wayangnya ini untuk membuka hati untuk orang lain. Entah berapa kali penolakan yang aku berikan tiap kali ia menyodorkan kenalannya. Selamat Ninda, kali ini kamu berhasil meyakinkanku untuk melangkah pergi, meninggalkan rasa takut kehilangan seperti dahulu lagi. Doakan adikmu bisa benar-benar melepaskan ikatan dari kenangan bersama Mas Bangun.

Belajar Saham : Stockbit Review

Belajar Saham : Stockbit Review

Pernah mendengar kata investasi? Tahukah kamu apa saja jenis-jenisnya? Bagaimana dengan saham, pernahkah kamu berkenalan dengan benda yang satu ini? Kalau ini kali pertama kamu mendengarnya dan tertarik untuk mencari tahu lebih lanjut, mungkin sedikit cerita dariku bisa mengantarkanmu.

Salah satu wacana sejak awal tahun 2020 tapi belum juga terlaksana hingga berganti 2021 adalah mencoba menjajal dunia investasi di bidang saham. Rasanya ada hal yang masih mengganjal di dalam hati hingga membuatku belum beranjak dari posisi saat ini. Satu-satunya langkah paling konkret yang sempat aku lakukan terkait investasi saham ini adalah mencoba membuat akun di aplikasi Stockbit. Ini pun aku lakukan karena adanya informasi bahwa kita bisa melakukan investasi secara virtual untuk belajar sebelum terjun ke kolam yang sebenarnya.

Kata investasi sendiri menurut KBBI berarti penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Dalam arti yang lebih sederhana, investasi adalah sesuatu yang sifatnya ditanam di masa sekarang untuk kemudian dipetik hasilnya di masa yang akan datang. Jadi sebenarnya investasi tidak terbatas hanya pada perusahaan/proyek.

Sebelum akhirnya tertarik untuk belajar lebih lanjut mengenai saham, aku pribadi sebenarnya sudah pernah melakukan investasi keuangan dalam jenis yang lain. Logam mulia (emas batang), tabungan berjangka, deposito, serta stok barang dagangan adalah beberapa jenis instrumen investasi yang pernah aku miliki. Persamaan dari semuanya adalah mereka termasuk dalam jenis investasi yang low risk namun juga low return. Ini bertolak belakang denngan sifat saham yang high risk high return.

Menurutku, sebelum terjun ke dunia saham, seseorang perlu punya bekal yang cukup. Pernah dengar kalimat saham itu judi? Ya, kalimat itu benar adanya seandainya kita masuk ke dalamnya tanpa punya ilmu analisis yang mumpuni. Selebihnya, terkait hukum syari dll, aku pun masih dalam tahap menimbang dan mencari tahu lebih lanjut.

Lalu, di akhir tahun 2020 aku pun mengunduh sebuah aplikasi bernama Stockbit. Aplikasi ini bisa dibilang semacam marketplace nya saham yang diperjualbelikan. Untuk bisa bertransaksi, kita butuh membuka akun juga membuka rekening efek namanya. Biasanya ada syarat saldo minimal untuk bisa membuka dan bertransaksi. Nah, menariknya, di aplikasi stockbit kita tidak butuh memiliki dana yang disetorkan bila ingin mencoba merasakan seperti apa sensasi jual beli saham yang sebenarnya.

Setelah melakukan pendaftaran akun baru, kita bisa memiliki dana virtual. Jumlahnya Rp 100.000.000. Tapi sesuai dengan namanya, dana virtual, maka ini bukan dana nyata. Sifatnya hanyalah sebagai simulasi saja. Kita bisa melakukan transaksi secara realtime menggunakan dana virtual yang tersedia.

Lewat aplikasi Stockbit ini, kita bisa melihat-lihat bagaimana sebenarnya cara kerja transaksi jual beli saham. Kita bisa melihat grafik harga masing-masing saham, grafik IHSG, dst. Kita juga bisa melakukan pembelian atau penjualan seperti yang sebenarnya. Stockbit memberikan fitur seandainya kita ingin mengubahnya menjadi transaksi nyata.

Ketika pertama kali memasang aplikasi ini, aku pun masih sering merasa bingung ketika membaca bermacam-macam istilah. Namun, lambat laun aku bisa memahami apa arti dari MATCH, AMEND, WITHDRAWN, dst. Tapi masih ada beberapa istilah yang asing buatku seperti ARA (Auto Reject Atas), ARB(Auto Reject Bawah).

Hal menarik lainnya dari Stockbit adalah adanya fitur Stream. Fitur ini seperti sosial media khusus sesama pengguna stockbit. Di bagian Stream inilah aku mencuri ilmu dari para suhu. Ketika menemukan kebingungan, aku biasanya tidak sungkan untuk bertanya via komentar. Berita-berita seputar ekonomi terkini juga bisa aku ikuti di sini. Meski sejujurnya, rasanya masih jauh lebih banyak yang harus aku pelajari untuk bisa berkenalan lebih dalam dengan jenis investasi yang satu ini.

Aku tidak punya prediksi kapankah akhirnya aku akan berani terjun dalam dunia investasi saham ini. Mungkin untuk saat ini aku akan membiarkan diriku untuk belajar lebih banyak dulu saja. Uang bukanlah tujuan, uang hanyalah alat. Berlayar tanpa tujuan hanyalah kesia-siaan, karena suatu saat kita akan kehabisan bahan bakar. Berlayar tanpa ilmu pun sama berbahayanya, kita perlu tahu bagaimana medan yang harus kita hadapi nantinya.

Kesimpulanku, melek investasi itu sangat perlu dilakukan sedini mungkin. Namun, untuk terjun ke dalam dunia investasi saham, jangan pernah sekadar asal ikut-ikutan. Jadi, tertarik untuk mencoba memasang aplikasi ini juga? 😁

Terjerat

Terjerat

Pernah menonton film animasi besutan Disney yang berjudul Inside Out? Jika belum, saya merekomendasikan untuk menyempatkan diri menontonnya.

Selain itu, ada sebuah film animasi terbaru, karya Disney juga kebetulan. Tema yang diusung hampir sejalan. Soul judul filmnya. Sama, saya juga merekomendasikan yang satu ini.

Jikalau ada hal paling absurd dan abstrak yang ada di dalam diri manusia, jawabannya mungkin terkait dengan EMOSI.

Film Inside Out membawa kita bertualang, membayangkan andaikan masing-masing emosi terwakilkan oleh satu entitas. Pada film, ada 5 emosi yang di angkat : senang, sedih, takut, marah, jijik.

Di awal film, emosi yang paling ditonjolkan adalah emosi senang. Tidak jauh berbeda dengan kebanyakan manusia yang menganggap emosi senang/bahagia adalah yang paling utama dan paling bermanfaat. Sedangkan sebaliknya, emosi sedih digambarkan sebagai emosi yang cuma cari masalah. Terlihat bagaimana emosi sedih ini dipaksa untuk tidak turut serta mengemudikan otak tokoh utama.

Tapi, di akhir cerita justru semuanya berubah. Si emosi sedih yang mulanya tak diketahui apa fungsi keberadaannya, justru yang jadi penyelamat, yang jadi pahlawan dalam konflik yang muncul.

Hampir senada, di film Soul, jiwa manusia digambarkan sebagai entitas terpisah dari tokoh secara fisik. Makhluk biru kecil mungil di dalam film ini mewakili jiwa manusia, tugasnya sebagai pengendali utama bagaimana manusia bertindak dan berpikir.

Konflik yang ditampilkan adalah bagaimana manusia seringkali lupa apa sebenarnya tujuannya hidup di dunia. Ada yang lupa, ada yang belum tahu, belum menemukannya.

Ada yang merasa yakin tujuannya adalah X, tapi ketika akhirnya mendapatkan yang dituju tersebut, tidak ada rasa puas pada batinnya. Rasanya hampa.

Digambarkan pula bagaimana jiwa manusia di dalam sana, seringkali terkungkung pada apa kata orang lain terhadap dirinya. Segala ucapan yang sampai lalu melekat kuat di dalam jiwanya, hanya menjadi bayangan hitam yang menyamarkan sifat asli dirinya.

Begitulah aku kini. Ada masanya aku merasa bukan seperti diriku. Ada kalanya aku terjerat pada rentetan jaring apa kata orang terhadap diriku. Aku butuh kekuatan super untuk bisa menghalau seluruh bayang gelap itu.

Wahai diriku, jangan terlalu lama kehilangan arah ya. Segera temukan kembali dirimu yang sesungguhnya.

Permainan Kata

Permainan Kata

Sebenarnya aku juga tidak paham dari mana asalnya ketika tiba-tiba saja ide itu muncul di kepalaku. Sebuah ide yang motivasi awalnya sekadar mengisi waktu dengan aktivitas yang bermanfaat tanpa mempergunakan gawai. Si sulungku yang sudah menginjak enam tahun lebih beberapa bulan ternyata menyambut sangat baik ide permainan kata yang aku ajukan ini.

Anagram namanya. Beruntung aku tidak salah mengingat nama jenis permainan ini. Awalnya aku agak ragu apakah nama permainan kata ini benar anagram atau bukan, sebab ada jenis permainan kata lainnya yang aku tahu pertama kali ketika aku membaca sebuah novel karya Dan Brown yang berjudul Angel and Demons. Bedanya, pada novel tersebut yang dimaksud adalah ambigram, suatu kata/tulisan yang bila dilihat dari arah manapun akan menghasilkan makna/dibaca sama. Berikut contoh ambigram :

ambigram

Berbeda dengan ambigram, anagram tidak mengharuskan suatu kata atau kalimat harus terbaca sama dari berbagai arah. Pada anagram yang terjadi adalah kita dapat membentuk susunan kata atau kalimat baru dari kombinasi huruf dari kata lainnya. Anagram mensyaratkan penggunaan seluruh huruf tanpa terkecuali. Sedangkan bila hanya menggunakan sebagian huruf disebut sebagai subanagram.

Sebagai contoh, kata HIPERAKTIF bisa menghasilkan beberapa turunan kata seperti :

KREATIFPERAHTAPIRAKIT
REAKTIFTERKARAPIKERAP
PERIHKITAHATIREKAT

Selain anagram dan ambigram, ada jenis permainan kata lainnya yang disebut Palindrom. Khusus pada Palindrom, ada keharusan urutan huruf pada kata atau kalimat bila dibaca akan menghasilkan makna yang sama. Sebagai contoh Palindrom dalam Bahasa Inggris : level, pop, boob, radar, rotor, madam. Sedangkan contoh Palindrom dalam Bahasa Indonesia : ini, kasur rusak, rumah harum, aku suka, katak, kodok.

Bagaimana pendapatmu tentang beragam permainan kata ini? Tertarik untuk mencobanya bersama teman-temanmu?

Ketika Ia Pergi

Ketika Ia Pergi

“Lana enggak usah ikut, di rumah aja ya, banyak PR harus dikerjain.”

Hatiku yang mulanya senang seketika menciut. Rencana akan melihat megahnya Candi Borobudur bersama Papa, tak dapat restu dari Mama. Padahal kan aji mumpung Papa ada acara ke area sana bersama rekan dosen lainnya. Ongkos pun gratis karena naik mobil rombongan dari kampus jaket kuning Papa bekerja.

Baju-bajuku juga sudah tertata rapi di dalam tas sejak semalam. Entah kenapa tiba-tiba keesokan pagi Mama justru bilang begitu. Papa juga sepertinya ikut saja apa kata Mama.

Sebelum berangkat, Papa menyempatkan berkeliling ke beberapa rumah tetangga sambil menggendong si bungsu yang minggu depan berusia dua tahun. Aku yang belum rela harus batal pergi, mengekor saja dari belakang. Berharap ada perubahan keputusan, agar aku bisa juga berwisata di ajak Papa.

Sayangnya tidak. Keputusan sudah bulat. Papa akan pergi tanpa aku turut menyertai. Sedih? Jelas. Tapi rasa sedih karena urung pergi ini tak bertahan lama.  Hingga keesokan siang seorang tetangga datang mengetuk pintu rumahku.

***

Sebenarnya aku tak begitu ingat persisnya, mengapa tetanggaku yang mendapati kabar melalui telepon rumahnya, bukannya rumahku. Samar-samar memoriku bilang saat itu seharusnya rumahku pun sudah terpasang jaringan telepon. Entahlah, jarak 20 tahun yang lalu membuatku terlalu sulit memahami rincian kejadiannya.

Yang aku ingat, saat itu mendadak tetanggaku yang lain segera memboncengku menaiki vespanya. Melaju cepat menuju gedung sekolah tempat Mama mengajar sebagai seorang guru SMP. Sepertinya tetanggaku itu ingin memastikan langsung kondisi Mama.

Kejadian berganti begitu cepat. Sampai di sana, kami tak mendapati Mama berada sekolah. Katanya Mama sudah lebih dulu pulang. Aku tak paham, sebenarnya ada kabar apa sampai semua orang hilir mudik begitu cepat? Tiba-tiba saja aku sudah berada lagi di rumah. Memandangi Mama yang dikelilingi lebih banyak tetangga.

Sedih? Jelas, nampak jelas suasana rumahku dalam keadaan bersedih. Bahkan jauh lebih sedih dari kesedihanku kemarin.

***

Kebumen, sebuah nama lokasi yang akan selalu teringat di benakku. Bukan karena aku pernah ke sana, melainkan karena di sanalah terjadi sebuah kejadian mengubah total kehidupanku dan keluargaku.

Bersama dengan 5 orang kolega sesama dosen, yang dua di antaranya adalah pasangan suami istri, Papa pergi menunaikan tugasnya sebagai utusan dari kampusnya. Mereka hendak menghadiri acara undangan dari kampus tetangga. Dengan menaiki mobil minibus mereka berangkat dari Depok menuju Yogyakarta.

Matahari baru saja menampakkan dirinya di pagi hari tanggal 6 Maret 2000. Sebuah truk muatan berukuran cukup besar tampak melaju dari arah seberang mobil minibus yang Papa tumpangi. Di waktu ini pula, perjalanan Papa menuju Yogyakarta harus terhenti. Takdir berbicara, Papa dan seluruh koleganya tak ada yang sempat menunaikan tugasnya, selamanya.

Aku yang baru tiga bulan menginjak usia 9 tahun mencoba membaca situasi. Sementara tiga orang adik lelakiku nampaknya belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi. Si enam dan empat tahun masih asyik bermain seperti biasanya. Sedangkan si bungsu yang baru akan memasuki usia dua tahun nampak dalam gendongan entah siapa.

Sedih? Ya sepertinya aku mulai paham mengapa semua orang bersedih. Benar firasat Mama kemarin, sebaiknya aku tidak ikut pergi.

Ujung Langit

Ujung Langit

Jawabnya ada diujung langit
Kita kesana dengan seorang anak
Anak yang tangkas dan juga pemberani

Jawab jujur, siapa yang ketika membaca bait di atas seketika bersenandung dalam hati? Jika jawabannya “Ya”, maka bisa saya tebak kalau generasi kita masih satu angkatan. Generasi kelahiran 90an atau yang berdekatan dengannya pasti familiar dengan salah satu kartun yang tayang setiap hari Minggu, Dragon Ball. Sesungguhnya saya pribadi bukan fans dari kartun yang satu ini, tapi entah mengapa bisa ikut hapal lagu-lagu latarnya. Tokoh yang paling teringat juga cuma beberapa, sebut saja Goku dan Bejita. Oh ya, ada satu hal ikonik lainnya dari kartun ini, sebuah kata yang diucapkan manakala sang tokoh hendak mengeluarkan jurus pamungkasnya : “Kamehameha”.

Saya mungkin tidak akan terpikir akan kembali mengingat ini semua andaikan saja tidak muncul pertanyaan dari anak sewata wayang. Pertanyaan yang muncul ketika untuk pertama kalinya ia berkenalan dengan Dragon Ball, namun bukan melalui film, melainkan lewat permainan Play Station dari rumah temannya.

“Bunda, langit tuh ada gak sih ujungnya?”
“Kalau bumi ada ujungnya gak?”

Mulanya saya tidak mengira kalau pertanyaan ini terpicu dari game yang ia mainkan tadi. Saya kira hanya layaknya pertanyaan spontan dan random seperti selama ini mendadak terlontar dari anak saya itu. Barulah kemudian saya menyadari ada kaitan antara ujung langit dan Dragon Ball. Sebuah hubungan yang tak terduga bukan?

Rasa ingin tahu seorang anak berusia 6 tahun lebih beberapa bulan bisa muncul dari mana saja. Termasuk salah satunya dari secuplik frasa yang ia dengar “Ujung Langit”. Sejujurnya, saya tidak punya jawaban yang pasti ketika mendapat pertanyaan itu. Khawatir memberikan jawaban yang keliru, saya memilih untuk menjawab tidak tahu dan berkata akan segera mencari tahu jawabannya.

Pertanyaan yang kedua, lebih mudah untuk dijawab. Bumi itu bulat, begitu kepercayaan saya. Saya bukan kaum pecinta teori konspirasi bumi datar. Alhasil, jawaban yang terlontar seputar bukti-bukti empiris bahwa bentuk bumi adalah bulat, sedangkan ujung bumi yang disangkanya hanyalah garis khayal akibat terbatasnya pandangan mata manusia.

Kembali pada Langit. Langit bagi saya termasuk pada hal-hal yang ghoib, sesuatu yang untuk saat ini belum mampu untuk disentuh manusia kecuali hanya sebagian kecilnya saja, baik melalui alat-alat tertentu maupun melalui perhitungan-perhitungan matematis.

“Dia yang menjadikan tujuh langit dengan berlapis-lapis.”

QS Al-Mulk : 3

Sebagai muslim, yang utama dibutuhkan adalah keimanan. Mengimani apa yang Allah sampaikan melalui firmannya jauh lebih penting sekalipun belum ada bukti atau tanda-tanda yang terdeteksi melalui indera manusia. Pada anak, mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini diatur oleh Allah menjadi prioritas utama sebagai orangtua, terlebih bila anak masih belia.

Termasuk ketika akhirnya anak saya menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang terhitung nyeleneh bagi sebagian orang :

“Allah siapa yang nyiptain?”

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul hanyalah pertanda bagaimana akal mereka sedang berkembang. Tidak ada pertanyaan yang salah. Permasalahannya justru bagaimana kemudian orang tua memberikan respon atas pertanyaan tersebut. Sudahkah kita sebagai orang tua punya ilmu dan bekal yang mumpuni memberikan jawaban yang tepat dan tidak sesat?